SEJARAH
KELAHIRAN DAN PERKEMBANGAN ILMU
A.
Pendahuluan
Filsafat
dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun
secara historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat,
sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat telah
berhasil mengubah pola fikir bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan
mitosentris menjadi logosentris. Awalnya bangsa Yunani dan bangsa lain di dunia
beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi oleh para dewa.
Karenanya para dewa harus dihormatidan sekaligus ditakuti kemudian disembah.
Dengan filsafat, pola fikir yang selalu tergantung pada dewa diubah menjadi
pola fikir yang tergantung pada rasio.
Proses
kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan melalui beberapa periode jaman.
Setiap periode jaman yang dilaluinya menggambarkan peradaban. Diawali oleh
orang-orang Yunani Kuno di abad ke-6 SM, filsafat sebagai manifestasi ilmu
pengetahuan, lahir dengan corak mitologis. Melalui mitologi itulah diterangkan segala
yang ada. Setelah ada gerakan demitologisasi yang dilakukan oleh para filsuf
alam dijaman pra Sokrates, filsafat setapak demi setapak mencapai puncak
perkembangannya melalui pemikiran ”trio filsuf besar” yaitu Sokrates, Plato dan
Aristoteles di abad ke-3 SM yang secara rasional mempertanyakan segala yang ada
dan yang mungkin ada. Filsafat yang semula identik dengan mitologi sejak saat
itu berubah menjadi ilmu pengetahuan yang meliputi segala macam ilmu menurut
pengertian kita sekarang ini.
Pemisahan
ilmu-ilmu pengetahuan (cabang) dari filsafat ini diawali dengan kebangkitan
ilmu-ilmu pengetahuan fisik dengan tokoh-tokohnya Copernicus, Vesalius, dan
Isaac Newton. Metode yang digunakan oleh ilmu alam ini, merupakan metode yang
digunakan juga dalam ilmu sosial yang muncul pada abad ke-18. Perkembangan ilmu
sosial dengan gaya tersebut, mencapai bentuknya secara definitif dengan
tampilnya Auguste Comte. Comte mengajarkan bahwa cara berfikir manusia akan
mencapai tahap positif setelah melewati tahap teologis dan metafisik.
Makalah ini akan coba mnguraika secara
ringkas sejarah dan perkembangan ilmu di Yunani dan Barat serta bagaimana pula
perkembangan ilmu di dunia Islam.
B.
Sejarah
kelahiran dan Perkembangan Ilmu di Yunani dan Barat
1. Sejarah
kelahiran dan Perkembangan Ilmu di Yunani dan Barat
Pada filsafat Yunani merupakan
periode sangat penting dalam sejarah peradaban manusia karena pada waktu ini
terjadi perubahan pola pikir manusia dari mitosentris menjadi logosentris. Pola
pikir motosentris adalah pola pikir masyarakat yang mengandalkan mitos untuk
menjelaskan fenomena alam.
Berbicara tentang kelahiran dan
perkembangan filsafat pada awal kelahirannya tidak dapat dipisahkan dengan
perkembangan (ilmu) pengetahuan yang munculnya pada masa peradaban Kuno (masa
Yunani).Pada tahun 2000 SM bangsa Babylon yang hidup di lembah sungai Nill
(Mesir) dan sungai Efrat, telah mengenal alat pengukur berat, tabel bilangan
berpangkat, tabel perkalian dengan menggunakan sepuluh jari.
Piramida yang
merupakan salah satu keajaiban dunia itu, yang ternyata pembuatannya menerapkan
geometri dan matematika, menunjukkan cara berfikirnya yang sudah tinggi. Selain
itu mereka pun sudah dapat mengadakan kegiatan pengamatan benda-benda langit,
baik bintang, bulan, matahari, sehingga dapat meramalkan gerhana bulan maupun
gerhana matahari. Ternyata ilmu yang mereka pakai dewasa ini disebut astronomi.
Di India dan Cina waktu itu telah ditemukan cara pembuatan kertas dan kompas
(sebagai petunjuk arah).
Setelah abad ke-6 SM muncul sejumlah ahli pikir yang menentang adanya
mitos. Mereka menginginkan adanya pertanyaan tentang isteri alam semesta ini,
jawabannya dapat diterima akal (rasional). Keadaan yang demikian ini sebagai
suatu demitiologi, artinya suatu kebangkitan pemikiran untuk menggunakan akal
pikir dan meninggalkan hal-hal yang sifatnya mitologi.upaya para ahli pikir
untuk mengarahkan kepada suatu kebebasan berfikir , ini kemudian banyak orang
mencoba membuat suatu konsep yang dilandasi kekuatan akal pikir secara murni,
maka timbullah peristiwa ajaib The Greek Miracle yang artinya dapat
dijadikan sebagai landasan peradaban dunia.
Pelaku filsafat adalah akal dan
musuhnya adalah hati. Pertentangan antara akal dan hati itulah pada dasarnya
isi sejarah filsafat. Di dalam sejarah filsafat kelihatan akal pernah menang,
pernah kalah, hati pernah berjaya, juga pernah kalah, pernah juga kedua-duanya
sama sama-sama menang. Diantara keduanya , dalam sejarah, telah terjadi
pergugumulan berebut dominasi dalam mengendalikan kehidupan manusia.
Yang dimaksud dengan akal disini ialah akal logis yang bertempat di kepala,
sedangkan hati adalah rasa yang kira-kira bertempat di dalam dada.akal itulah
yang menghasilkan pengethauan logis yang disebut filsafat, sedangkan hati pada
dasarnya menghasilkan pengetahuan supralogis yang disebut pengetahuan mistik,
iman termasuk disini. Ciri umum filsafat yunani adalah rasionalisme yang dimana
mencapai puncaknya pada orang-orang sofis.
Dalam sejarah filsafat biasanay filsafat yunani dimajukan sebagai pangkal
sejarah filsafat barat, karena dunia barat (Erofa Barat) dalam alam pikirannya
berpangkal kepada pemikiran yunani. Pada masa itu ada keterangan-keterangan
tentang terjadinya alam semesta serta dengan penghuninya, akan tetapi
keterangan ini berdasarkan kepercayaan. Ahli-ahli pikir tidak puas akan
keterangan itu lalu mencoba mencari keterangan melalui budinya. Mereka
menanyakan dan mencari jawabannya apakah sebetulnya alam itu. Mungkin yang
beraneka warna yang ada dalam alam ini dapat dipulangkan kepada yang satu.
Mereka mencari inti alam, dengan istilah mereka : mereka mencari arche alam
(arche dalam bahasa yunani yang berarti mula, asal).
Terdapat tiga faktor yang menjadikan filsafat yunani ini lahir, yaitu:
1. Bangsa yunani yang kaya akan mitos
(dongeng), dimana mitos dianggap sebagai awal dari uapaya orang untuk
mengetahui atau mengerti. Mitos-mitos tersebut kemudian disusun secara
sistematis yang untuk sementara kelihatan rasional sehingga muncul mitos
selektif dan rasional, seperti syair karya Homerus, Orpheus dan lain-lain.
2. Karya sastra yunani yang dapt dianggap
sebagai pendorong kelahiran filsafat yunani, karya Homerous mempunyai kedudukan
yang sangat penting untuk pedoman hidup orang-orang yunani yang didalamnya
mengandung nilai-nilai edukatif.
3. Pengaruh ilmu-ilmu pengetahuan yang
berasal dari Babylonia (Mesir) di lembah sungai Nil, kemudian berkat kemampuan
dan kecakapannya ilmu-ilmu tersebut dikembangkan sehingga mereka mempelajarinya
tidak didasrkan pada aspek praktis saja, tetapi juga aspek teoritis kreatif.
Dengan adanya ketiga faktor tersebut, kedudukan mitos digeser oleh logos
(akal), sehingga setelah pergeseran tersebut filsafat lahir.
Periode yunani kuno ini lazim disebut periode filsafat alam. Dikatakan
demikian, karena pada periode ini ditandai dengan munculnya para ahli pikir
alam, dimana arah dan perhatian pemikirannya kepada apa yang diamati
sekitarnya.mereka membuat pertanyaan-pertanyaan tentang gejala alam yang
bersifat filsafati (berdasarkan akal pikir) dan tidak berdasarkan pada mitos.
Mereka mencari asas yang pertama dari alam semesta (arche) yang sifatnya
mutlak, yang berada di belakang segala sesuatu yang serba berubah.
Para pemikir filsafat yunani yang pertama berasal dari Miletos, sebuah kota
perantauan Yunani yang terletak di pesisir Asia Kecil. Mereka kagum terhadap
alam yang oleh nuansa dan ritual dan berusaha mencari jawaban tas apa ynag ada
di belakang semua materi itu.
Orang yunani yang hidup pada abad ke-6 SM mempunyai sistem kepercayaan
bahwa segala sesuatunya harus diterima sebagai sesuatu yang bersumber pada
mitos atau dongeng-dongeng. Artinya suatu kebenaran lewat akal pikir (logis)
tidak berlaku, yang berlaku hanya suatu kebenaran yang bersumber dari
mitos (dongeng-dongeng).
Pada abad ke-6 SM, bermunculan para pemikir
yang berkepercayaan sangat bersifat rasional (cultural religion) menimbulkan
pergeseran. Tuhan tidak lagi terpisah dengan manusia, melainkan justru menyatu
dengan kehidupan manusia. Sistem kepercayaan yang natural religius berubah
menjadi sistem cultural religius.
Dalam sistem kepercayaan natural
religius ini manusia terikat oleh tradisionalisme. Sedangkan dalam sistem
kepercayaan kultural religius ini memungkinkan manusia mengembangkan potensi
dan budayanya dengan bebas, sekaligus dapat mengembangkan pemikirannya untuk
menghadapai dan memecahkan berbagai kehidupan alam dengan akal pikiran.
Ahli pikir pertama kali yang muncul
adalah Thales (625 – 545 SM) yang berhasil mengembangkan geometri dan
matematika. Likipos dan Democritos mengembangkan teori materi, Hipocrates
mengembangkan ilmu kedokteran, Euclid mengembangkan geometri edukatif, Socrates
mengembangkan teori tentang moral, Plato mengembangkan teori tentang ide,
Aristoteles mengembang teori tentang dunia dan benda serta berhasil
mengumpulkan data 500 jenis binatang (ilmu biologi). Suatu keberhasilan yang
luar biasa dari Aristoteles adalah menemukan sistem pengaturan pemikiran
(logika formal) yang sampai sekarang masih terkenal.
Para ahli pikir Yunani Kuno ini mencoba
membuat konsep tentang asal mula alam. Walaupun sebelumnya sudah ada tentang
konsep tersebut. Akan tetapi konsepnya bersifat mitos yaitu mite kosmogonis
(tentang asal usul alam semesta) dan mite kosmologis (tentang asal-usul serta
sifat kejadian-kejadia dalam alam semesta), sehingga konsep mereka sebagai
mencari asche (asal mula) alam semesta, dan mereka disebutnya sebagai filosof
alam.
Oleh karena arah pemikiran filsafatnya
pada alam semesta maka corak pemikirannya kosmosentris. Sedangkan para ahli
pikir seperti Socrates, Plato dan Aristoteles yang hidup pada masa Yunani
Klasik karena arah pemikirannya pada manusia maka corak pemikiran filsafatnya
antroposentris. Hal ini disebabkan, arah pemikiran para ahli pikir Yunani
Klasik tersebut memasukkan manusia sebagai subyek yang harus bertanggung jawab
terhadap segala tindakannya.
Secara historis
kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani Kuno(sistem berpikir) tidak dapat
dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan filsafat, dalam hal ini
adalah sejarah filsafat. Dalam tradisi sejarah filsafat mengenal 3 (tiga)
tradisi besar sejarah, yakni tradisi: (1) Sejarah Filsafat India (sekitar2000
SM – dewasa ini), (2) Sejarah Filsafat Cina (sekitar 600 SM – dewasa ini), dan
(3) Sejarah Filsafat Barat (sekitar 600 SM – dewasa ini).
Dari
ketiga tradisi sejarah tersebut di atas, tradisi Sejarah Filsafat Barat adalah
basis kelahiran dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain)
sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Titik-tolak dan orientasi
sejarah filsafat baik yang diperlihatkan dalam tradisi Sejarah Filsafat India
maupun Cina disatu pihak dan Sejarah Filsafat Barat dilain pihak, yakni
semenjak periodesasi awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan orientasi
sejarah yang berbeda. Pada tradisi Sejarah Fisafat India dan Cina, lebih memperlihatkan
perhatiannya yang besar pada masalah-masalah keagamaan, moral/etika dan
cara-cara/kiat untuk mencapai keselamatan hidup manusia di dunia dan kelak
keselamatan sesudah kematian.
Sedangkan
pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi awalnya (Yunani
Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir pada masa itu sudah mulai
mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché) yang dianggap sebagai asal
mula segala sesuatu/semesta alam Sebagaimana yang dikemukakan oleh Thales
(sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché, sedangkan Anaximander (sekitar
610 -540 SM) berpendapat arché adalah sesuatu “yang tak terbatas”,
Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat “udara” yang merupakan unsur induk
dari segala sesuatu. Nama penting lain pada periode ini adalah Herakleitos (±
500 SM) dan Parmenides (515 – 440 SM), Herakleitos mengemukakan bahwa segala
sesuatu itu “mengalir” (“panta rhei”) bahwa segala sesuatu itu berubah
terus-menerus/perubahan sedangkan Parmenides menyatakan bahwa segala sesuatu
itu justru sebagai sesuatu yang tetap (tidak berubah).
Lain
lagi Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat bahwa segala sesuatu itu terdiri
dari “bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan itu tidak lain adalah
“ritme”, dan Pythagoraslah orang pertama yang menyebut/memperkenalkan dirinya
sebagai sorang “filsuf”, yakni seseorang yang selalu bersedia/mencinta untuk
menggapai kebenaran melalui berpikir/bermenung secara kritis dan radikal
(radix) secara terus-menerus.
Yang
hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari unsur induk segala sesuatu
(arche), itulah momentum awal sejarah yang telah membongkar periode myte
(mythos/mitologi) yang mengungkung pemikiran manusia pada masa itu kearah
rasionalitas (logos) dengan suatu metode berpikir untuk mencari sebab awal dari
segala sesuatu dengan merunut dari hubungan kausalitasnya (sebab-akibat).
Jadi
unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan logika
(konsekuensi). Meskipun tentu saja ini arché yang dikemukakan para filsuf tadi
masih bersifat spekulatif dalam arti masih belum dikembangkan lebih
lanjut dengan melakukan pembuktian (verifikasi) melalui observasi maupun
eksperimen (metode) dalam kenyataan (empiris), tetapi prosedur berpikir untuk
menemukannya melalui suatu bentuk berpikir sebab-akibat secara rasional itulah
yang patut dicatat sebagai suatu arah baru dalam sejarah pemikiran manusia.
Hubungan sebab-akibat inilah yang dalam ilmu pengetahuan disebut sebagai hukum
(ilmiah). Singkatnya, hukum ilmiah atau hubungan sebab-akibat merupakan obyek
material utama dari ilmu pengetahuan. Demikian pula kelak dengan tradisi
melakukan verifikasi melalui observasi dan eksperimen secara berulangkali
dihasilkan teori ilmiah.
Tradisi
Sejarah Filsafat Barat adalah basis kelahiran dan perkembangan ilmu
(scientiae/science/sain) sebagaimana yang kita kenal sekarang ini.
Titik-tolak dan orientasi sejarah filsafat baik yang diperlihatkan dalam
tradisi Sejarah Filsafat India maupun Cina disatu pihak dan Sejarah Filsafat
Barat dilain pihak, yakni semenjak periodesasi awal sudah memperlihatkan
titik-tolak dan orientasi sejarah yang berbeda. Pada tradisi Sejarah Fisafat
India dan Cina, lebih memperlihatkan perhatiannya yang besar pada
masalah-masalah keagamaan, moral/etika dan cara-cara/kiat untuk mencapai
keselamatan hidup manusia di dunia dan kelak keselamatan sesudah kematian.
Lain
lagi Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat bahwa segala sesuatu itu terdiri
dari “bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan itu tidak lain adalah
“ritme”, dan Pythagoraslah orang pertama yang menyebut/memperkenalkan dirinya
sebagai sorang “filsuf”, yakni seseorang yang selalu bersedia/mencinta untuk
menggapai kebenaran melalui berpikir/bermenung secara kritis dan radikal
(radix) secara terus-menerus.
Yang
hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari unsur induk segala sesuatu
(arche), itulah momentum awal sejarah yang telah membongkar periode myte
(mythos/mitologi) yang mengungkung pemikiran manusia pada masa itu kearah
rasionalitas (logos) dengan suatu metode berpikir untuk mencari sebab awal dari
segala sesuatu dengan merunut dari hubungan kausalitasnya (sebab-akibat).
Zaman
keemasan/puncak dari filsafat Yunani Kuno/Klasik, dicapai pada masa Sokrates (±
470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Sokrates
sebagai guru dari Plato maupun tidak meninggalkan karya tulis satupun dari
hasil pemikirannya, tetapi pemikiran-pemikirannya secara tidak langsung banyak
dikemukakan dalam tulisan-tulisan para pemikir Yunani lainnya tetapi terutama
ditemukan dalam karya muridnya Plato.
Filsafat
Plato dikenal sebagai ideal (isme) dalam hal ajarannya bahwa kenyataan itu
tidak lain adalah proyeksi atau bayang-bayang/bayangan dari suatu dunia “ide”
yang abadi belaka dan oleh karena itu yang ada nyata adalah “ide” itu sendiri.
Filsafat Plato juga merupakan jalan tengah dari ajaran Herakleitos dan
Parmenides. Dunia “ide” itulah yang tetap tidak berubah/abadi sedangkan
kenyataan yang dapat diobservasi sebagai sesuatu yang senantiasa berubah.
Karya-Karya lainnya dari Plato sangat dalam dan luas meliputi logika,
epistemologi, antropologi (metafisika), teologi, etika, estetika, politik,
ontologi dan filsafat alam.
Sedangkan
Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak
setuju/berlawanan dengan apa yang diperoleh dari gurunya (Plato). Bagi
Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia “abadi” sebagaimana yang
dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada kenyataan/benda-benda itu
sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu
materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”). Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa
“ide” tidak dapat dilepaskan atau dikatakan tanpa materi, sedangkan
presentasi materi mestilah dengan bentuk. Dengan demikian maka bentuk-bentuk
“bertindak” di dalam materi, artinya bentuk memberikan kenyataan kepada materi
dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari materi. Aristoteles menulis
banyak bidang, meliputi logika, etika, politik, metafisika, psikologi dan ilmu
alam. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak menyumbang kepada
perkembangan ilmu pengetahuan.
C.
Sejarah
Perkembangan Ilmu di Dunia Islam
Masyarakat
Arab sebelum Islam datang berada dalam keterbelakangan, zaman kegelapan dengan
kepercayaan paganisme dan pemujaan dewa-dewa. Masyarakat asyik dengan pola
hidup sesuai dengan kepercayaannya, suasana kehidupan yang statis, dan
perkembangan ilmu yang belum tampak.
Sejak awal
kelahirannya, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu.
Sebagaimana sudah diketahui, bahwa nabi Muhammad Saw. datang mmenawarkan cahaya
penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang
berilmu dan beradab. ayat yang pertama turun berisikan perintah untuk membaca,
‘iqra’’.
Islam sangat
menganjurkan pengembangan pemikiran dan penggunaan akal. Sejak kelahirannya,
Islam sudah menunjukkan wajahnya yang sangat menghargai akal pikiran dan
menganjurkan agar digunakan dengan seoptimal mungkinuntuk mengetahui dan
memahami ciptaan-Nya. Ajaran Islam mendorong manusia untuk memahami realitas,
seperti yang diwahyukan kepada Muhammad Saw yang tertulis dalam Alquran mulai
dari penciptaan alam raya sampai pada hal yang menyangkut proses kelahiran manusia
melalui pembuahan sel telur oleh sperma.
Dalam ajaran Islam, untuk mencapai kesempurnaan rohani tidak cukup hanya
menyandarkan diri pada logika saja, sebab boleh jadi melalui logika tersebut
kita harus pula membuka hati kita untuk sampai ke tingkat tertinggi. Oleh
karena itu Islam mengajarkanapabila hendak mencari pertolongan Allah dalam
memahami hukum alam, maka sepantasnya menghadapkan diri kepada-Nya dengan
sepenuh hati.
1.
Penyampaian ilmu dan filsafat Yunani ke
dunia Islam
Dalam
perjalanan ilmu dan juga filsafat di dunia islam, pada dasarnya terdapat upaya
rekonsiliasi dalam arti medekatkan dan mempertemukan dua pandangan yang
berbeda, bahkan sering kali ekstrim antara pandangan filsafat Yunani, seperti
filsafat Plato dan Aristoteles, dengan pandangan keagamaan islam yang
seringkali menimbulkan benturan-benturan. Sebagai contoh konkret dapat
disebutkan bahwa plato dan aristoteles telah memberikan pengaruh yang besar
pada mazhab-mazhab islam, khusunnya mazhab eklektisisme.
Al-Farabi dalam hal ini memiliki sikap yang jelas
karena ia percaya pada kesatuan filsafat dan bahwa tokoh-tokoh filsafat harus
bersepakat diantara mereka sepanjang menjadai tujuan mereka adalah kebenaran.
Bahkan bisa dikatakan para filosof muslim mulai Al-Kindi sampai Ibn Rusyd
terlibat dalam upaya rekonsiliasi tersebut, dengan cara mengemukakan
pandangan-pandangan yang relative baru dan menarik.
·
Masa
Islam Klasik
Satu hal yang patut dicatat dalam kaitannya dengan
perkembangan ilmu dalam islam adalah peristiwa Fitnah al-Kubra, yang ternyata
tidak hanya membawa konsekuensi logis dari segi poitis seperti yang dipahami
selama ini, tapi ternyata juga membawa perubahan besar bagi pertumbuhan dan
perkembangan ilmu di dunia islam, pasca terjadinya Fitnah al-Kubra, muncul
berbagai golongan yang memilki aliran teologis tersendiri pada dasarnya
berkembang karena alasan polotis. Pada saat itu muncul syiah yang membela Ali,
aliran Khawrij dan aliran Muawiyah.
Tahap penting beikutnya dalam proses perkembangan
dan tradisi keilmuan islam ialah masuknya unsure-unsure dari luar ke dalam
islam, khususnya unsure-unsur budaya Perso-Semitik (Zoroasrianisme-khususnya
Mazdaisme, serta yahudi dan Kristen) dan budaya Hellenisme. Yang disebut
belakangan mempunyai pengaruh besar terhadap pemikiran islam ibarat pisau
beramata dua. Satu sisi ia mendukung jabariyah (atara lain oleh Jahm Ibn
Safwan), sedang disisi lain ia mendukung Qadariah (antara lain Washil Ibn
Atha’, tokoh dan pendiri Mu’tazilah). Dari adanya pandangan yang dikotomis
antara keduanya kemudian muncul usaha menengahi dengan menggunakan
argument-argumen helenisme, terutama filsafat Aristoteles. Sikap menengahi itu
terutama dilakukan oleh Abu al-Hasan al-Asy’ari dan al-Maturidi yang juga
menggunakan unsure Hellenisme.
·
Masa
Kejayaan Islam
Pada masa kejayaan kekusaan islam, khususnya pada
masa pemerintahan Dinasti Ummayah dan Dinasti Abbasiyah, ilmu berkembang sangat
maju dan pesat. Kemajuan ini membawa islam pada masa keemasannya, dimana pada
saat yang sama wilayah-wilayah yang jauh dari kekuasaan islam masih berada pada
masa kegelapan peradaban.
Pada masa kejayaan ini terdapat juga tokoh-tokoh
filsafat yang bergelut secara serius dalam kajian-kajian diluar filsafat. Hal
ini bisa dipahami karena adanya kenyataan bahwa mereka menganggap ilmu-ilmu rasional
sebagai bagian filsafat. Atas dasar inilah mereka memperlakukan
persoalan-persoalan fisika sebagaimana merekea memperlakukan masalah-masalah
yang bersifat metafisik. Salah satu bukti nyata dari ini adalah kitab al-Syifa,
sebuah ensiklopedi filsafat arab yang terbesar, yang berisi empat bagian.
Bagian I mengenal logika, bagian II tentang fisika, bagian III tentang
matematika, dan bagian IV tentang metafisika. Dalam bagian fisika Ibn Sina
memasukkan ilmu-ilmu psikologi, zoology, geologi, dan botani, dan pada bagian
matematika ia membahas geometri, ilmu hitung, astronomi, dan musik.
·
Masa
Keruntuhan Tradisi Keilmuan Dalam Islam
Abad ke-18 dalam sejarah islam adalah abad yang
paling menyedihkan bagi umat islam dan memperoleh catatan buruk bagi peradaban
islam secara universal. Seperti yang diungkapkan oleh Lothorp Stoddard, bahwa
menjelang abad ke-18, dunia islam telah merosot ke tingkat yang terendah islam
tampaknya sudah mati, dan yang tertinggal hanyalah cangkangnya yang kering
kerontang berupa ritual tanpa jiwa dan takhayul yang merendahkan martabat
umatnya. Ini menyatakan seandainya Muhammad bisa kembali hidup, dia pasti akan
mengutuk para pengikutnya sebagai kaum murtad dan musyrik.
Dalam bukunya, The Recosntruction of Religious
Thoughtin Islam Iqbal menyatakan bahwa salah satu penyebab utama kematian
semangat ilmiah di kalangan umat islam adalah diterimanya paham Yunani mengenai
relaitas yang pada pokoknya bersifat statis, sementara jiwa islam adalah
dinamis dan berkembang. Ia selanjutnya mengungkapkan bahwa semua aliran
pemikiran muslim bertemu dalam suatu teori Ibn Miskawih mengenai mengenai
kehidupan sebagai suatu gerak evolusi dan pandangan Ibn Khaldun mengenai
sejarah.
D.
DAFTAR
PUSTAKA
http://imaesjambi.blogspot.com/2012/12/sejarah-perkembangan-ilmu.html
http://dewi.students-blog.undip.ac.id/2009/05/28/kelahiran-dan-perkembangan-ilmu-pengetahuan/
http://www.gurutrenggalek.com/2009/12/sejarah-kelahiran-filsafat.html
http://khotimhanifudinnajib.blogspot.com/2011/07/sejarah-filsafat-yunani-kuno.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar