AYAT TARBAWI
TENTANG WASIAT DALAM KELUARGA
MAKALAH
Diajukan untuk : Memenuhi Tugas Tafsir Tarbawi
Disusun Oleh:
BELIA DARA
ARIANI
08.608.11
PBI 5B
Dosen Pembimbing:
Jakson, S.Hi
MAHASISWA PROGRAM STUDI BAHASA INGGRIS
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
( STAIN ) KERINCI
T.A
2013/2014
Ayat Tarbawi
Tentang Wasiat dalam Keluarga
A.
Pengertian Wasiat
Kata wasiat berasal dari bahasa Arab yang artinya sesuatu yang dipesankan.
Dalam hal ini, sesuatu yang dipesankan dari seseoarang kepada orang lain agar
pesan itu dilaksanakan setelah kematiannya. Wasiat juga berarti pemberian
seoarang kepada orang lain berupa harta atau benda lain yang berharga dan
bermanfaat agar dapat diterima secara sukarela setelah kematiannya. Itulah yang
membedakan antara hibah dan wasiat.
Segala amal ibadah dalam Islam memiliki hikmah yang tersurat ataupun tersirat.
Begitupula wasiat, memiliki hikmah tersendiri dalam melaksanakannya.
Sebagaimana disebutkan dalam hadist,
إنّ
الله تصدق عليكم بثلث أموالكم زيادةً في أعمالكم
فضعوها حيث شئتم أو حيث أحببتم
“Sesungguhnya Allah telah bersedekah
kepada kalaian dengan sepertiga hartamu sebagai penambah amal kebajikan, maka
tempatkanlah ia di mana kamu mau atau di mana kamu suka.”
Adapun syarat-syarat pemberi wasiat adalah orang yang
memiliki kemampuan yang diakui. Keabsahan itu dilandasi oleh akal, kedewasaan,
kemerdekaan dan tidak dibatasi kebodohan dan kelalaian. Jika pemberi wasiat
kurang memenuhi kemampuan itu, maka wasiatnya tidak sah. Adapula sesuatu yang
dapat memebatalkan wasiat. Sayyid Sabiq dalam bukunya meneyebutkan tiga faktor
batalnya wasiat.
1. Pemberi wasiat menderita
penyakit gila yang menyebabkan kematiannya.
2. Penerima wasiat mati
sebelum pemberi wasiat.
3. Sesuatu yang diwasiatkan
atau barang tersebut menjadi rusak sebelum diwasiatkan
Hadist tersebut di atas dhaif. Hadist ini menunjukkan wasiat adalah salah satu
cara yang dapat digunakan manusia untuk mendekatnkan diri kepada Allah yang
pada akhirnya akan bertambah kebaikan di dalam kehidupan karena di dalam wasiat
itu terdapat kebajikan.
B.
Identifikasi Ayat
Surat Al-Baqarah adalah surat ke-2 dalam Al-Quran yang tergolong dalam Madaniyah.
Surat ini merupakan surat terpanjang dalam Al Quran Surat ini terdiri dari 286
ayat, 6.221 kata, dan 25.500 huruf. Sebagian besar ayat dalam surat ini
diturunkan pada permulaan hijrah, kecuali ayat 281 yang diturunkan di Min
saat peristiwa Haji Wada''. Surat ini dinamai al-Baqarah yang artinya Sapi
Betina karena di dalam surah ini terdapat kisah penyembelihan sapi betina
yang diperintahkan Allah kepada Bani Israil (ayat 67-74).
Yang
menjadi fokus ayat pada pembahasan makalah ini yaitu surat Al-Baqarah ayat 180.
كُتِبَ
عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ
لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ (180)
Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila
seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan
harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara
ma'ruf,
(ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.(Q.S Al-baqarah
:180
C.
Makna Ayat
Kalimat كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت (diwajibkan
atas kamu , apabila salah satu diantara kamu didatangi maut), maksud dari الموت adalah
tanda-tandanya. إن ترك خيرا (jika ia
meninggalkan kebaikan), kata خيرا berarti harta
yang banyak. الوصيّة (berwasiat) sebagai inaibul
fa’il dari
كتب, dan tempat berkaitnya adalah kata إذا jika merupakan
zharfiyah maka kata كتب berarti wajib.
Jika ia merupakan syartiyah dan sebagai jawaban dari إن maka berarti hendaklah berwasiat. للوالدين و الأقربين بالمعروف (untuk ibu bapak dan kaum kerabat secara baik-baik) kata
بالمعروف artinya dengan adil, tidak lebih dari sepertiga dan tidak
mengutamakan orang kaya. حقا (merupakan
kewajiban) masdar yang memperkuat kalimat sebelumnya. علي المتقين(bagi
orang-orang yang bertakwa).
D.
Asbabun Nuzul
Adapun sebab turunnya ayat ini adalah sesungguhnya
masyarakat jahiliyah mewasiatkan harta mereka kepada orang-orang yang jauh
dengan tujuan pamer (riya’) dan agar terkanal (mencari kemasyhuran), serta
mencari kebasaran dan kemuliaan. Dan meninggalkan kerabat dekatnya dalam
keadaan fakir dan miskin. Kemudian Allah menurunkan ayat ini pada awal islam,
serta mengembalikan hak yang diberikan orang-orang yang jauh kepada sanak
kerabat yang dekat, hal tersebut dilakukan untuk mencari kebaikan dan hikmah.
Ada pendapat yang mengatakan ayat ini dinasakh oleh ayat waris pada surat
an-nisa’, maka sekarang tidak diwajibkan seseorang berwasiat kepada orang yang
dekat maupun orang yang jauh dan jika ada yang berwasiat pada orang yang dekat
ataupun jauh maka mereka bukan termasuk dalam orang-orang yang menerima waris.
E.
Munasabah Ayat
Ilmu munasabah merupakan ilmu yang mulia, namun tidak banyak
dari para ulama ahli tafsir yang memperhatikannya, dalam arti menggunakan
munasabah untuk menafsirkan ayat Al-Quran, dikarenakan kerumitannya. Tidak
hanya itu, banyak dari beberapa kitab tafsir tidak menyuguhkan munasabah dari
atau surat ayat yang ditafsirkan.
Antara ayat-ayat Al-quran dengan ayat-ayat Al-Quran lain
memiliki hubungan dan keterkaitan. Begitu pula ayat 180 dari surat Al-Baqarah
ini. Surat Al-Baqarah terdiri dari 286 ayat yang terklasifikasi menjadi
beberapa tema pembahasan. Ayat 180 surat Al-Baqarah masuk dalam tema ‘hukum
syariat’, yaitu pembahasan tentang aturan-aturan syariat dalam Islam. Uniknya,
klasifikasi ayat masuk pada tema ‘hukum syariah’ disebabkan memiliki kesamaan
kata perintah, yaitu kata كُتِبَ
(diwajibkan). Tema tentang ‘hukum syariat’ pada surat Al-Baqarah ini
terangkum dalam ayat 178-188. Ayat 178-189 membahas tentang qishas dan
hikmahnya, ayat 180-182 membahas tentang wasiat dan 183-188 membahas tentang
puasa.artinya ayat 180 memiliki kesamaan tema pembahasan dengan beberapa ayat
sebelum dan sesudahnya (al-tandzir).
Sedangkan hubungan antara ayat 180 dengan ayat sebelumnya
memiliki hubungan al-istihrad, yaitu peralihan kepada jenis lain. Hal
itu dilihat dari pokok pembahasan yang berbeda antara ayat 180 dengan ayat
sebelumnya . Ayat 180 masuk dalam pembahasan wasiat, sedangkan ayat sebelumnya
masuk dalam pembahasan qishas dan hikmahnya.
Bila dikaji lebih detail, pada ayat
sebelumnya telah dikemukakan masalah hukum qishas di dalam pembunuhan.
Qishah ini merupakan salah satu jalan menuju kematian. Karenanya, tampak
berurutan jika ayat-ayat sesudahnya membicarakan masalah wasiat —yang juga merupakan bahasan
tentang hukum— bagi seorang yang sudah diambang kematian.
Khitab ayat ini
disampaikan secara umum, hendaknya seseorang wewasiatkan sebagian dari harta
bendanya terutama jika tanda-tanda kematian itu sudah jelas. Dengan demikian
akhir dari amal perbuatannya adalah kebaikan.
F.
Tafsir Ayat
Penggalan ayat (Kutiba Alaikum)
menunjukkan arti wajib atas apa yang diterangkannya, sedangkan (idza hadhara
ahadukum al mauta) bukan diartikan dengan waktu kematian, karena pada waktu
itu orang yang berwasiat dalam keadaan tidak mampu untuk berwasiat, adapun yang
dimaksud dengan (idza hadhara ahadukum al mauta) itu terdapat dua
pendapat, pertama yaitu yang banyak dipilih bahwa maksud dari ayat itu adalah
datangnya tanda-tanda kematian yaitu sakit yang menakutkan (berbahaya).
Kedua yaitu pendapat Ashim bahwa maksud dari ayat tersebut adalah wasiat itu
diwajibkan bagi kalian dalam keadan sehat, dalam keadaan sehat itu kalian
berwasiat “jika kita meninggal, maka lakukanlah begini”, Al qodhi berkata bahwa
pendapat yang pertama lebih utama.
Adapun maksud
dari (intaraka khairan) tidak ada perbedaan pendapat diantara para
ulama, mereka sepakat bahwa yang dimaksud dengan khairan adalah harta
seperti yang banyak disebutkan dalam al quran (wa ma tunfiqu min khairin)
(al baqoroh 272), (wa innahu lihubbi al khairi) (al adiyat 8). Sedangkan
harta yang diwasiatkan itu sendiri mempunyai dua pendapat, pendapat yang
pertama mengatakan bahwa tidak membedakan antara harta baik sedikit atau
banyak, dan ini adalah pendapat Az Zuhri, maka wasiat diwajibkan untuk semua
harta.Adapun yang
dijadikan dalil adalah pertama bahwa sesungguhnya Allah mewajibkan wasiat dalam
sesuatu jika yang ditinggalkan itu baik, sedangkan harta sedikit itu baik,
adapun yang dijadikan dasar adalah Al quran dan sesuatu yang diterima akal. Adapun dalil Alquran yaitu surat al zalzalah 7-8:
فَمَنْ
يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ (7) وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ
شَرًّا يَرَهُ (8)
7. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat
dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. 8. Dan Barangsiapa yang
mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya
pula.
G.
Surat al-Maidah (106-108)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا
شَهَادَةُ بَيْنِكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ حِينَ الْوَصِيَّةِ
اثْنَانِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ أَوْ آَخَرَانِ مِنْ غَيْرِكُمْ إِنْ أَنْتُمْ
ضَرَبْتُمْ فِي الْأَرْضِ فَأَصَابَتْكُمْ مُصِيبَةُ الْمَوْتِ تَحْبِسُونَهُمَا
مِنْ بَعْدِ الصَّلَاةِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ إِنِ ارْتَبْتُمْ لَا نَشْتَرِي
بِهِ ثَمَنًا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى وَلَا نَكْتُمُ شَهَادَةَ اللَّهِ إِنَّا
إِذًا لَمِنَ الْآَثِمِينَ ﴿106﴾ فَإِنْ عُثِرَ عَلَى أَنَّهُمَا اسْتَحَقَّا
إِثْمًا فَآَخَرَانِ يَقُومَانِ مَقَامَهُمَا مِنَ الَّذِينَ اسْتَحَقَّ
عَلَيْهِمُ الْأَوْلَيَانِ فَيُقْسِمَانِ بِاللَّهِ لَشَهَادَتُنَا أَحَقُّ مِنْ
شَهَادَتِهِمَا وَمَا اعْتَدَيْنَا إِنَّا إِذًا لَمِنَ الظَّالِمِينَ ﴿107﴾
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يَأْتُوا بِالشَّهَادَةِ عَلَى وَجْهِهَا أَوْ يَخَافُوا أَنْ
تُرَدَّ أَيْمَانٌ بَعْدَ أَيْمَانِهِمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاسْمَعُوا وَاللَّهُ
لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ ﴿108)
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila salah
seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah
(wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang
yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu
kamu ditimpa bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk
bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu
ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga
yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan
tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau
demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa" (106). Jika diketahui
bahwa kedua (saksi itu) memperbuat dosa, maka dua orang yang lain di antara
ahli waris yang berhak yang lebih dekat kepada orang yang meninggal (memajukan
tuntutan) untuk menggantikannya, lalu keduanya bersumpah dengan nama Allah:
"Sesungguhnya persaksian kami lebih layak diterima daripada persaksian
kedua saksi itu, dan kami tidak melanggar batas, sesungguhnya kami kalau
demikian tentulah termasuk orang-orang yang menganiaya diri sendiri"
(107). Itu lebih dekat untuk (menjadikan para saksi) mengemukakan persaksiannya
menurut apa yang sebenarnya, dan (lebih dekat untuk menjadikan mereka) merasa
takut akan dikembalikan sumpahnya (kepada ahli waris) sesudah mereka bersumpah.
Dan bertakwalah kepada Allah dan dengarkanlah (perintah-Nya). Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik (108).
H.
Asbab al-Nuzul (al-Maidah : 106-107)
Sejumlah riwayat yang dikemukakan oleh ahli asbabun nuzul
ayat ini, walau berbeda tapi intinya sama. Pada suatu kali pergilah Budail
Maula Amar ibn Ash membawa barang dagangan ke madinah. Di kota itu, ia berjumpa
Tamim dan Adi, dua orang Nasrani yang tinggal di Mekkah, lalu mereka pun
bersama-sama pergi ke Syam (Suriah).
Di tengah perjalanan, Budail menderita sakit, lalu dia menulis surat wasiat dan dia masukkan ke dalam barang-barang dagangan miliknya. Kepada kawan-kawannya dia berwasiat supaya menyampaikan barang dagangan miliknya kepada keluarganya. Budail pun meninggal dalam perjalanan.
Sebelum barang diterima para ahli waris, Tamim dan Adi membuka ikatan barang-barang tersebut dan mengambil sebagiannya. Setelah itu barang dibungkus kembali dan kemudian diserahkan kepada keluarga Budail, yang tentu saja tidak utuh lagi.
Di tengah perjalanan, Budail menderita sakit, lalu dia menulis surat wasiat dan dia masukkan ke dalam barang-barang dagangan miliknya. Kepada kawan-kawannya dia berwasiat supaya menyampaikan barang dagangan miliknya kepada keluarganya. Budail pun meninggal dalam perjalanan.
Sebelum barang diterima para ahli waris, Tamim dan Adi membuka ikatan barang-barang tersebut dan mengambil sebagiannya. Setelah itu barang dibungkus kembali dan kemudian diserahkan kepada keluarga Budail, yang tentu saja tidak utuh lagi.
Keluarga Budail terkejut ketika bungkusan dibuka jumlah
barang tidak sesuai dengan isi surat wasiat, yang juga diletakkan dalam
bungkusan tanpa diketahui kawan almarhum yang dititipi. Para ahli waris pun
kepada mereka yang menyerahkan barang titipan tersebut. Tetapi mereka yang
dititipi mengatakan itulah barang-barang yang mereka terima. Mereka mengaku
tidak tahu barang dalam bungkusan berkurang. Keluarga Budail mengatakan jumlah
barang tidak sesuai dengan isi surat wasiat. Untuk menyelesaikan hal itu,
akhirnya mereka mengadu kepada Nabi. Tidak lama kemudian turunlah ayat ini.
Nabi kemudian menyuruh dua teman almarhum atau saksi tersebut bersumpah dengan
nama Allah setelah sembayang ashar bahwa itulah barang yang mereka terima.
Beberapa lama kemudian, pada mereka ditemukan suatu bejana
perak yang disadur dengan emas. Berkatalah keluarga Budail : “ini adalah benda
milik Budail.”
Tamim dan Adi tidak bisa mengelak. Mereka pun mengakui
tuduhan keluarga Budail. Jawabnya: “benar benda itu kepunyaan almarhum, tetapi
sudah kami beli dan kami lupa menyebutkan pada waktu mengangkat sumpah.”
Keluarga Budail kembali mengadu kepada Nabi. Setelah perkara itu disampaikan
kepada nabi untuk kedua kalinya, maka turunlah ayat 107 ini. Nabi kemudian
memerintah dua orang dari keluarga Budail tersebut bersumpah bahwa kedua orang
itu telah menyembunyikan barang milik budail.
Setelah kejadian ini, Tamim ad-Dari memeluk islam serta
membaiatkan diri kepada Nabi. Ketika itulah dia mengaku dengan terus terang
telah mengambil bejana milik almarhum bersama kawannya.
I.
Hukum wasiat
Tentang hukum wasiat, para ulama berbeda pendapat tentang
hukum pelaksanaannya. Situasi dan kondisi juga mempengaruhi keberadaan hukum
itu sendiri.
Wasiat menjadi wajib bila orang itu memiliki kewajiban syara’
dan khawatir semua harta atau barang peniggalannya menjadi sis-sia bila tidak
diwasiatkan. Menjadi sunnah apabila digunakan untuk kebijakan karib-kerabat, fakir dan orang-orang
yang membtuhkan. Wasiat haram bila itu merugikan ahli waris. Adapun wasiat akan
menjadi makruh bila yang berwasiat memiliki harta sedikit, sedangkan dia
memiliki ahli waris yang banyak membutuhkan hartanya. Dan wasiat memiliki hukum
jaiz atau boleh jika ia ditunjukkan kepada orang kaya, baik orang yang
diwasiati ataupun bukan.
Dan tidak boleh merubah isi dari wasiat, baik itu
dilakukan oleh saksi atau orang yang menerima wasiat dengan cara merubah,
mengingkari, mengurangi setelah benar-benar mengetahui jumlahnya. Karena
itu termasuk dosa besar.
Kesimpulan
Wasiat adalah sesuatu yang dipesankan dari seseoarang kepada
orang lain agar pesan itu dilaksanakan setelah kematiannya. Wasiat juga
pemberian seorang kepada orang lain berupa harta atau benda lain yang berharga
dan bermanfaat agar dapat diterima secara sukarela setelah kematiannya
Ayat ini menekankan perlunya setiap orang menulis wasiatnya,
dan bahwa wasiat sebaiknya dipersaksikan, karena dengan adanya wasiat tertulis,
apabila dipersaksikan, maka akan banyak sengketa yang dapat dihindari.
DAFTAR PUSTAKA
·
Muhammad Bagir, Fiqih Praktis II: Menurut Al-Quran,
As-Sunnah dan Pandangan Para Ulama, (Bandung: Karisma, 2008), h. 257.
·
Sayyid Sabiq, Fiqhus
Sunnah, diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin dengan judul Fiqih
Sunnah (Jakarta: Pena Pundi Askara, 2006), jilid 4, h. 469-470.
·
Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Surah_Al-Baqarah
pada tanggal pada tanggal 10 Desember 2013, jam 19.53 WIB.
·
Diakses dari http://elachosibnuahmady.blogspot.com/2011/10/konsep-wasiat-dalam-islam-sebuah-kajian.html pada tanggal 12 Desember 2013, jam 15.31 WIB.
·
Diakases dari http://daarulilmu.blogspot.com/2010/07/hukum-wasiat-dalam-islam.html pada tanggal 12 Desember 2013, jam 15.15 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar